Kamis, 24 Maret 2011

Rosim Kanefusa

Posted by mindi on 19.50

ROSIM

Kulitnya hitam. Tubuhnya langsing, boleh juga dibilang kurus dan kering. Orangnya polos dan lugu. Senyumnya selalu berseri. Wajahnya selalu cerah. Tawa dan candanya juga melimpah. Ia adalah sebuah berkah di tempat kerja kami. Tak heran hampir semua orang suka padanya. Ia adalah OB di kantor kami.

Tinggal di kampung Sukatani. Berjarak lebih dari 20 kilo dari tempat kerja kami. Ia tempuh jarak itu tiap hari dengan sepeda motor bututnya yang tak bernomor seri. Pernah sekali ia ditangkap polisi karena motornya yang tak berseri itu. Tapi dengan uang gocengan polisi langsung menyuruhnya pergi dan tak pernah menangkapnya lagi. Begitu suatu kali ia pernah berbagi pengalaman pada saya ini, bahwa betapa berkhasiatnya uang goceng itu. Sampai sekarang motornya tak juga berpelat normor seri, tetap melaju tanpa henti.(im 25 mar 11)

Ia adalah makhluk datang paling pagi di kantor kami. Bahkan kadang sebelum pintu gerbang terbuka. Ia sudah bekerja bahkan sebelum bel tanda mulai bekerja berbunyi. Mencuci gelas dan cangkir kopi bekas minum kami. Mempersiapkan minuman pagi hari untuk kami-kami juga menyapu dan mengepel lantai tempat kami kerja ini. Begitulah rutinitas kerjanya ia jalani setiap hari. Tanpa keluh dan kesah. Bahkan justeru ia sering nikmati pekerjaannya sambil bernyanyi. Di perusahaan PMA Jepang tempat kami bekerja sekarang ini bernyanyi sambil bekerja adalah tabu, juga pantangan. Walau memang dalam PKB tak ditulis sebagai larangan. Tapi khusus untuk Rosim, kami yang ada di sini memberikan dispensasi. Karena toh senandung dangdutnya lumayan juga untuk dinikmati bersama.

Mungkin dari skala upah, berada di kelas terendah. Mepet sedikit saja dari angka UMR. Tapi baginya bekerja adalah suatu berkah. Kalau uang goceng saja begitu berharga dan berkhasiatnya, tak ada alasan untuk mengumpat upah yang berlipat-lipat jumlah gocengannya. Nikmati dan terima saja apa yang ada. Dan jalani dengan sepenuh hati tugas hidup ini. Begitu suatu saat dia pernah berbagi isi hati, sambil menyajikan secangkir kopi pagi. Rosim yang kurus kering menjalani rasa syukurnya secara sederhana. Telah kubaca manfaat syukur baik dari kitab suci maupun dari buku-buku pengembangan diri dan psikologi. Tapi apalah arti sebuah teori kalau tanpa praktek dalam hidup ini. Tanpa teori yang tinggi-tinggi, justru Rosim telah bisa menjalani makna syukur ini.

Setiap pagi ia selalu menyajikan secangkir kopi hangat di mejaku ini. Selalu kuucapkan padanya ucapan terima kasih. Aku telah belajar nikmatnya rasa kopi melalui OB di kantorku ini. Kini akan kuniatkan untuk belajar bagaimana bersyukur dan berterima kasih dari seorang Rosim ini.

0 komentar:

Posting Komentar

 
  • Paguyuban Karyawan Kanefusa Indonesia

  • Paguyuban Karyawan Kanefusa Indonesia