Jumat, 12 Agustus 2011

masalah PHK kanefusa

Posted by mindi on 21.21


Yth. Pak Sur,


Betul, Pak. Memang pengalaman itu guru yang baik. Ia mengajari orang yang tepat, karena selalu memberikan kita sebuah nasihat. Tapi seperti biasanya pengalaman hanya bisa memberi nasihat melalui peristiwa yang telah lewat, memberikan wejangan dengan kejadian yang sudah usang. Maka pengalaman itu tak ubahnya seperti guru baik yang datangnya selalu terlambat. Tak pantas untuk terus digugu dan ditiru. Toh nasehat juga kalau telat, tidak lebih mulia dari pahlawan yang datang kesiangan.

Kini memang kami mengerti. Tapi entah mesti berbuat apa lagi. Kami hanya bisa berdiri di sini. Di pinggir jalan milik EJIP ini. Kencing di selokan. Tidur di pinggir jalan. Beralas tikar di atas trotoar. Pesta sebentar lagi selesai. Hajatan hampir usai. Tak ada lagi slogan. Hanya rasa bosan. Spanduk pun sudah mulai melapuk. Kini kami hanya bisa menunduk. Bendera tak berhenti berkibar, memang. Hati kami selalu berdebar, ternyatah kalah bukan menang. Kini kami enggan untuk kembali berkobar. Karena kami sudah mulai muak dan mual oleh ini keadaan.

Keadaan yang kini hanya menyisakan sesak dan sesal. Kelu dan kesal. Kenapa kami bisa berbuat sedemikian nekat. Menggerakan teman senasib, membaiat teman sejawat untuk tidak saling berkhianat. Merapatkan barisan sambil berteriak bila perlu menghujat dan melaknat mereka yang khianat. Mulai dari bekas rekan sejawat sampai aparat bahkan pejabat. Ini kami punya hajat. Siapapun bisa kami hujat. Semua bisa kena damprat. Jangankan cuma atasan atau orang Jepang. Polisi, menteri bahkan presidenpun berani kami maki. Kapan lagi buruh bisa begini. Buruh bersatu tak bisa dikalahkan.

Setahun lebih telah kami lewati. Dari ramadhan menuju ramadhan lagi kami sudah terbiasa berpuasa kerja. Dan sekarang mulai terasa batas-batas solidaritas itu. Karena satu persatu kami kini menjadi sangsi. Mulai ragu akan arti perjuangan itu. Untuk apa. Dan untuk siapa. Kami hanya bisa mengais rizki dari rasa belas kasihan orang di pinggir jalan. Pakaian kami yang mulai kumal dan wajah kami sudah bebal pandangan yang sinis dan ironis. Kulit kami pun sudah mati rasa. Di tenda ini telah kami rasakan ratusan gigitan nyamuk. Dinginnya malam di waktu hujan yang begitu menusuk tulang rusuk. Kini kami mengerti kenapa di kitab suci sering ditulis bahwa manusia adalah makhluk yang paling rajin mendholimi dirinya sendiri. Nasib ini terjadi, petaka ini datang karena diam-diam secara tak sadar kami sendiri memang telah mengundangnya.

Kini akhirnya hanya lalu lalang kendaraan orang-orang yang pergi dan pulang kerja yang bisa kami nikmati sehari-hari. Sebenarnya betapa getir dan irinya hati kami melihatnya. Melihat mereka yang bisa hilir mudik bekerja, berjuang menafkahi isteri dan anaknya. Membangun negeri memberi maslahat pada orang banyak. Karena melalui keringat dan kerja buruh akan tercipta barang yang bisa didistribusikan dan dimanfaatkan masyarakat. Roda ekonomi berputar. Ada pajak yang bisa disumbangkan untuk pembangunan. Undang-undang BPJS yang kami perjuangkan pun tak kan bisa jalan tanpa ada iuran dari para buruh-buruh yang bekerja – bukan penganggur atau yang cuma bisa tidur di sebuah tenda. Kini kami sadari bahwa tugas buruh adalah berkeringat dengan membuat barang yang bermanfaat, bukan berteriak apalagi menghujat teman sejawat. Biarkan yang berkeringat dan berteriak adalah tugas anggota dewan dan para politis saja.

Di keremanangan malam di tenda perjuangan sering terbayang wajah orang tua kami di desa, lucunya isteri dan anak-anak tercinta di rumah. Ah… di atas jalanan ini memang bukan tempat yang pantas untuk berjuang dan apaalgi untuk cari nafkah.

Pak Sur, tolong cepat kami gusur. Agar kami bisa segera kembali ke pangkuan orangtua kami. Supaya kami bisa pulang menemui isteri dan anak-anak kami yang sudah lama menanti. Agar kami bisa merenda hidup dan meniti hari-hari kami lebih baik lagi.

Hidup kadang hanya masalah waktu dan persoalan menunggu. Menunggu sesuatu yang Kekal, tanpa kesal tanpa sesal. Menanti sesuatu yang Abadi, dengan sepenuh hati.

1 komentar:

tulisanmu seolah-olah memang menunjukkan jatidiri seorang yang ga punya prinsip didalam hidup ini.dalam perjuangan pasti ada jlan panjang yg harus dilalui, bari selangkah saja kaumu sdah lesu dan menyerah. dasar pecundang, ingatlah leluhurmu yang berjuang selama 350 tahun tanpa henti, atau memeng nenek moyangmu hanya seorang kacung kompeni yang rela diijak dan ditiduri olah kompeni yang penting bisa bertahan hidup.

Posting Komentar

 
  • Paguyuban Karyawan Kanefusa Indonesia

  • Paguyuban Karyawan Kanefusa Indonesia